Islam Tidak Menyuruh Dakwah Kepada Kekuasaan Negeri, Namun Menyuruh Dakwah Kepada Tauhid (3)

Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi

Akan tetapi, mengherankan, orang-orang yang selama ini mengajarkan kepada manusia perkara zuhud, akhlak atau politik atau yang lainnya di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan itu bisa merasa tenang. Mereka sama sekali tidak menggerakkan orang mempermasalahkannya. Bahkan terkadang tatkala ada orang yang mempermasalahkan hal tersebut karena merasakan pentingnya tauhid, mereka berdiri sambil berteriak-teriak dengan nada menghasut: “Itu hanya memecah belah umat! Terlalu tergesa-gesa dan tidak hikmah (bijaksana)! Orang- orang Komunis selamat dari celaannya, tetapi orang-orang shalih (yang dikubur di masjid-masjid dan diibadahi itu) tidak selamat dari celaannya!”

Mana ikhlas yang mereka serukan? Bagaimana mereka mau memperjuangkan Islam? Bagaimana mereka tidak marah melihat aturan Allah dilanggar?! Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda:

اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ

“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku ini sebagai berhala yang disembah. Sangat besar murka Allah terhadap orang-orang yang menjadikan kuburan nabi- nabi mereka sebagai masjid-masjid (tempat ibadah).” (HR. Malik, Abdur Razaq dan Iain-Iain) [1]

Sesungguhnya wala’ [2] kepada Allah Ta’ala baru terwujudkan jika engkau marah karena kemarahan-Nya dan engkau ridha karena keridhaan-Nya. Karena tauhid engkau saling berwala’, sebaliknya dengan syirik dan pelakunya engkau harus bermusuhan. Inilah yang seharusnya menjadi sikapmu sepanjang hidupmu. Walaupun umat Islam telah menerima dan menyambut seruan tauhid dengan sempurna, akan tetapi kekurangan pada diri manusia tetap saja ada, dan seburuk- buruk kekurangan adalah kekurangan dalam ikhlas dan kerusakan dalam tauhid. Oleh karena, itu Nabi Shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah mendiamkan kemusyrikan sampai pada hari-hari terakhir hidupnya, padahal ketika itu umat Islam telah mencapai puncak kekuatan tauhid; persatuan dan kesatuan mereka pun sudah sangat padu dan solid.

Dari Jundub bin Abdillah Al Bajali Radhiallah’anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda lima hari menjelang wafat beliau:

إِنَّ اللهَ قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

‘Sesungguhnya aku tidak mau mengambil seorang dari kalian sebagai khalil (kekasih), karena Allah telah mengambil aku sebagai khalil-Nya sebagaimana Dia mengambil Ibrahim sebagai khalil-Nya. Kalau seandainya boleh aku mengambil seorang kekasih (teman) dari umatku, niscaya aku akan mengabil Abu Bakar sebagai khalilku. Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Oleh karena itu, janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian dari yang demikian itu.” (HR. Muslim)

Para ulama senantiasa memfokuskan diri kepada dakwah tauhid yang barakah ini, dan mengajak manusia untuk bersama-sama meniti jalan para salafush shalih dalam hal (keimanan) kepada:

  1. Allah Subhanahu waTa’ala
  2. Malaikat-malaikat-Nya.
  3. Kitab-kitab-Nya.
  4. Rasul-rasul-Nya ‘Alaihis sholatu wassalam.
  5. Hari akhir.
  6. Takdir yang baik dan yang buruk.

Mereka menamakan enam perkara ini sebagai ushulud dien (dasar atau pokok- pokok agama). Tauhidullah (mentauhidkan Allah) sesungguhnya telah menjadi kesepakatan para imam (ulama) yang mendapat petunjuk bahwa seseorang yang telah mempelajari nas-nas Al Qur’an dan As-Sunnah, belum dikatakan mengenal Allah yang bisa menyelamatkan dia dari azab yang pedih pada hari kiamat sebelum dia mentauhidkan Allah dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya dan dalam asma’ dan sifat-Nya. Barangsiapa yang mengurangi satu macam dari macam-macam tauhid yang tiga ini, berarti dia belum memurnikan ketaatannya kepada Allah Subhanahu waTa’ala.

Tauhid Rububiyah

Yang dimaksud dengan tauhid rububiyah adalah meng-Esakan Allah Ta’ala dalam segala perbuatan-Nya. Kita meyakini bahwa Dia adalah Al Khaliq (Yang Maha Pencipta), Ar Raziq (Yang Maha Memberi Rizqi), Al Mudabbir (Yang Maha Mengatur) makhluk-makhluk-Nya, Al Murabbi (Yang Membimbing) mereka dengan nikmat- nikmat-Nya, serta beriman dengan semua perbuatan-perbuatan-Nya Subhanahu waTa’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الأمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ

“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dan langit dan dan bumi atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengetuarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ . Maka mereka akan menjawab: ‘Allah’. Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada- Nya).’” (QS. Yunus: 31)

Tauhid jenis pertama ini tidak akan memberi faedah kepada seseorang yang meyakininya jika tidak dibarengi melaksanakan dua jenis tauhid yang lain, yakni tauhid uluhiyah dan tauhid asma’ wa sifat. Allah telah mengabarkan kepada kita bahwa orang-orang musyrikin meyakini tauhid rububiyah-Nya, tetapi keyakinan mereka itu tidak memberi manfaat sedikit pun, karena mereka tidak mentauhidkan Allah dalam beribadah kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

“Dan jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan men]awab: ‘Allah.’ (QS. Luqman: 25)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Kalau seandainya dengan tauhid rububiyah saja seseorang bisa selamat (di dunia dan di akhirat), niscaya akan selamatlah orang-orang musyrikin. Akan tetapi tidak begitu, karena masalah selamat dan tidaknya seseorang dari neraka adalah tergantung pada tauhid uluhiyah yang merupakan pembeda antara orang-orang musyrikin dan orang yang bertauhid.” [Madaarij As Salikin (1/327)]

Tauhid Uluhiyah

Tauhid uluhiyah adalah meng-Esakan Allah dalam peribadahan. Maksudnya, kita meyakini bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Esa dalam semua sifat sebagaimana disebutkan dalam tauhid rububiyah. Karena itu seseorang tidak boleh mempersembahkan shalat, doa, sembelihan dan seterusnya kecuali kepada-Nya. Seseorang tidak boleh thawaf kecuali di ‘rumah-Nya’ (Masjidil Haram); seseorang tidak boleh meminta pertolongan kepada yang telah mati atau sesuatu yang ghaib. Seseorang tidak boleh bertawakal, bersandar atau berserah diri kecuali kepada-Nya, karena kepada-Nya lah dikembalikan segala urusan dan penciptaan. Allah Ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan berkurbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)

Dan firman-Nya:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ

“Atau siapakah yang mengabulkan (do’a) orang yang ditimpa kemadharatan apabila dia berdo’a kepada-Nya dan melepaskan kesusahannya?” (QS. An Naml: 62)

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al Maidah:. 23)

Kita tidak boleh mencintai selain Allah seperti mencintai Allah. Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sekutu-sekutu yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yeng beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Kamu lihat orang musyrik itu amalannya menyalahi ucapannya sendiri. Mereka mengatakan: ‘Kami tidak mencintai sesembahan-sesembahan kami seperti mencintai Allah dan kami tidak menyamakan mereka dengan Allah.’ Akan tetapi, mereka marah ketika kehormatan berhala- berhala mereka dilanggar dengan kemarahan yang lebih besar daripada kemarahannya karena Allah. Orang-orang musyrik itu senang dengan selalu menyebut-nyebut nama-nama sesembahan mereka, lebih-lebih tentang kelebihan- kelebihan mereka yang sebenarnya tidak benar, seperti: mampu menghalangi kemalangan, melepaskan kesulitan, dan menunaikan hajat kebutuhan, dan mampu menjadi pintu (yang menghubungkan) antara Allah Subhanahu waTa’ala dengan hamba-hamba-Nya. Kita bisa melihat kalau seorang musyrik itu merasa senang, bergembira, serta hatinya bangga terhadap sesembahan-sesembahan tersebut. Penghormatan mereka pun sangatlah mendalam. Karena mereka begitu tunduk dan setia kepada sesembahan-sesembahan mereka, maka apabila. kamu menyebutkan bahwa hanya Allah yang layak disembah dan kamu memumikan tauhid hanya untuk- Nya (di hadapan mereka) niscaya mereka merasa susah, sempit hati dan keberatan. Mereka menuduh kalian dengan (tuduhan) yang merendahkan martabat ketuhanan, yang sebenarnya tuduhan mereka ini lebih cocok buat diri mereka sendiri dan bisa jadi dia akan memusuhimu.” [Madaarijus Salikin (1/341-342)]

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Dan apabila disebutkan nama Allah saja menjadi sempitlah hati-hati orang yang tidak beriman kepada akhirat itu dan apabila disebutkan nama-nama yang selain Dia tiba-tiba mereka bergembira.” (QS. Az Zumar: 45)

Dan firman-Nya:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ. وَلا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ

“Serulah mereka yang kalian sangka (sebagai llah) selain Allah, yang tidak memiliki (kekuasaan) sebesar zarrah pun di langit dan (tidak pula) di bumi. Mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi. Sekali-kali tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu-Nya. Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu.” (QS. As-Saba’: 22-23)

Di antara rahasia-rahasia ilmu yang telah Allah bukakan kepada Ibnul Qayyim rahimahullah mengenai ayat ini adalah penjelasan beliau bahwa seorang musyrik yang mengambil sesuatu sebagai sesembahannya hanyalah karena keyakinannya bahwa sesembahannya tersebut dapat mendatangkan manfaat. Padahal manfaat itu tidak akan terwujud melainkan dari salah satu dari empat sifat berikut ini:

  1. Kemungkinan dia memiliki apa yang diinginkan oleh yang menyembahnya.
  2. Kalau dia tidak memiliki kekuasaan, maka paling tidak dia bersekutu dalam kepemilikan kekuasaan.
  3. Kalau dia tidak bersekutu dalam kepemilikannya paling tidak dia sebagai penolong dan pembantu di sisi pemilik kekuasaan tersebut.
  4. Kalau dia bukan sebagai penolong atau pembantu maka paling tidak dia sebagai pemberi syafa’at (rekomendasi).

Sementara dalam ayat di atas (QS. As Saba’: 22-23) Allah Ta’ala membantah keempat kemungkinan di atas ada pada sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik itu, mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah. Pertama Allah Subhanahu waTa’ala menafikan milk (kepemilikan), kemudian asy syirk (sekutu atau keikutsertaan), kemudian al muzhaaharah (pertolongan dan bantuan), kemudian asy syafa’ah yang kesemuanya diyakini oleh si musyrik. Akan tetapi, dalam hal ini Allah Subhanahu waTa’ala tidak menafikan adanya syafa’at yang diberikan kepada selain orang musyrik, yaitu syafa’at yang disertai izin dari-Nya.

Cukuplah ayat di atas sebagai cahaya, petunjuk, penyelamat, dan pembela bagi tauhid serta pemutus atau penghapus akar-akar kemusyrikan, yang selayaknya menjadi bahan renungan. [Madaarijus Salikin (1/343)]

Saya katakan: “Adapun keterangan bahwa orang-orang musyrik tidak memiliki bagian syafa’at dari orang-orang yang diizinkan untuk memberi syafa’at telah diketahui dari nas yang banyak. Di antaranya sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam ketika ditanya:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: لَقَدْ ظَنَنْتُ أَنْ لاَ يَسْأَلَنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيْثِ أَحَدٌ أَوْلَى مِنْكَ لِحِرْسِكَ عَلَى الْحَدِيْثِ. قَالَ: إِنَّ أَسْعَدَ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِ نَفْسِهِ

“Ya Rasulullah, siapakah yang paling beruntung dengan syafaat engkau kelak pada hari kiamat?” Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sungguh aku telah menyangka bahwa tidak ada seseorang yang lebih dahulu bertanya tentang ini kecuali engkau, karena semangatmu dalam mencari hadits.”
Beliau bersabda: “Orang yang paling beruntung dengan syafaatku kelak adalah orang yang mengucapkan La ilaha illallah dengan penuh keikhlasan dari dalam hatinya.” (HR. Bukhari)

Akibat ingkar terhadap ajaran tauhid para rasul Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata, “Dan yang mengherankan, orang-orang ‘Asy’ariyah berpandangan bahwa sifat yang paling khusus di antara kekhususan-kekhususan sifat uluhiyyah Allah adalah sifat mencipta dan membuat yang baru!!” Padahal telah diketahui bahwa mengesakan Allah dalam hal mencipta merupakan tauhid rububiyah, yang diakui dan diyakini juga oleh orang-orang musyrikin. Tauhid yang paling penting dan yang paling agung yakni tauhid uluhiyyah, tidak dibahas dalam buku-buku mereka. Barangkali kejelekan ini yang menyebabkan mereka banyak terjatuh dalam bid’ah-bid’ah tashawuf (shufi) dan keyakinan terhadap perantara- perantara (wasilah) syirik yang diada-adakan di kuburan guru-guru mereka.” [Da’wah At Tauhid hal. 231]

Saya katakan: “Ini adalah pandangan seorang ulama Universitas Al Azhar Mesir yang paham betul akan kondisi umat. Karena itu, perhatikanlah!”

Tauhid Asma wa Sifat

Yakni mengimani semua yang Allah Subhanahu waTa’ala sifatkan dan namakan bagi diri-Nya dan mengimani bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, juga menyucikan-Nya dari segala cacat dan cela, karena Dia Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya Dzat yang memiliki sifat-sifat mulia dan sempuma. Termasuk dalam lingkup tauhid asma wa sifat juga kita menyucikan-Nya dari sifat- sifat kekurangan dan tidak menyamakan atau menyerupakan dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, wajib atas setiap muslim untuk menetapkan sifat dan nama-nama Rabb-nya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan-Nya sendiri dalam Kitab-Nya atau melalui lisan.

Seseorang yang paling mengenal-Nya, dari seluruh makhluk-makhluk-Nya, yaitu Rasul-Nya Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam dengan sifat-sifat yang layak bagi- Nya Subhanahu. Ini karena tjdak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dan tidak pula ada yang sepadan dengan-Nya.

Allah mengabarkan tentang diri-Nya dengan firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syuraa: 11)

dan firman-Nya:

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya. Oleh karena itu, beribadahlah kepada-Nya dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah).” (QS. Maryam: 65)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperkenalkan diri-Nya kepada makhluk-Nya lewat nama- nama-Nya yang paling baik dan sifat-sifat-Nya yang paling tinggi yang telah disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wasallam. Barangsiapa yang memikirkan hal itu dia akan mengenal (Allah) sebagai Rabb-Nya Yang Maha Berdiri Sendiri, Maha kaya, tidak butuh segala sesuatu bahkan segala sesuatu itulah yang butuh kepada-Nya. Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, di atas seluruh makhluk-Nya; Dia melihat dan mendengar; Dia ridha dan marah; Dia mencintai dan membenci dan Dia yang mengatur urusan Kerajaan-Nya; Dia di atas ‘Arsy-Nya berbicara, memerintah, dan melarang; Dia mengutus utusan-utusan-Nya ke penjuru kerajaan-Nya dengan pembicaraan yang bisa didengar oleh siapa saja yang Dia kehendaki dari makhluk-Nya; Dia yang menegakkan hukum dengan keadilan, membalas dengan kebaikan dan kejelekan. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun, Maha Mensyukuri, Maha Pemurah dan Maha Berbuat Baik, yang disifati dengan sifat-sifat sempurna, dan tersucikan dari setiap cacat serta kekurangan. Dan sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya. Dia mampu menyaksikan sendiri kebijakan-kebijakan-Nya dalam mengatur kerajaan-Nya, dan menentukan ukuran segala sesuatunya dengan kehendak-Nya yang tidak mungkin berlawanan dengan sifat adil-Nya dan bijaksana-Nya. Dia lah Hakim yang paling adil dan Dia lah Yang Terbesar dan Terindah dari segala sesuatu. [Lihat Al Fawaid Oleh Ibnul Qayyim hal. 216]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Apa yang bisa diperbuat oleh seseorang yang ubun-ubunnya serta jiwanya berada di tangan Allah, hatinya berada di antara dua jari dari jari-jemari-Nya yang setiap saat bisa Dia bolak-balikkan sesuai yang Dia kehendaki, hidupnya pun berada di tangan-Nya, begitu pula matinya, kebahagiaannya dan kesengsaraannya berada di tangan-Nya, di tangan-Nya lah segala gerakan, diam dan bicaranya, semua perbuatannya atas izin dan kehendak- Nya. Dia tidak bisa bergerak kecuali dengan izin-Nya dan tidak bisa berbuat kecuali dengan kehendak-Nya. Apabila dia bertawakal kepada dirinya sendiri maka berarti dia telah bertawakal kepada zat yang lemah, sia-sia, penuh dengan dosa dan kesalahan. Dan apabila dia bertawakal kepada selain Allah berarti dia bertawakal kepada zat yang tidak mampu menolak kemudharatan dan tidak pula mampu mendatangkan kemanfaatan, tidak menguasai kehidupan dan kematian, serta tidak pula menguasai hari dikumpulkannya manusia kelak di padang mahsyar. Kemudian apabila dia tidak bersandar kepada siapapun, berarti ia membukakan pintu bagi musuh untuk masuk dan menawannya. Jadi bagaimanapun juga ia tidak bisa terlepas dari Allah sekejap matapun, bahkan ia sangat membutuhkan-Nya sebanyak waktunya yang memenuhi setiap sudut sel dari seluruh sel-sel tubuhnya yang ada, baik itu yang tampak maupun yang tidak tampak. Sebenarnya ia butuh Allah, akan tetapi ternyata ia menyalahi-Nya dan berpaling dari-Nya; ia selalu membuat Dia marah kepadanya dengan kemaksiatan yang dilakukannya. la sangat membutuhkan-Nya dari segala sisi sehidupan, tetapi ia senantiasa lupa untuk mengingat-Nya, padahal kepada-Nya ia akan kembali dan dihadapan-Nya ia akan berdiri (kelak di akhirat).” [Al Fawaid hal. 74]

Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki kemulian, keperkasaan, kekuatan sedangkan semua makhluk hina dan fakir, sangat membutuhkan dan menginginkan-Nya, sehingga butuh kebaikan-Nya setiap saat. Hanya saja manusia terkadang menyangka dia bebas leluasa dengan sendirinya dan merasa tidak butuh kepada Rabb-nya sehingga mereka melampaui batas.

Allah Ta’ala berfirman:

كَلا إِنَّ الإنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى. إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى

“Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas; karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Rabb-mulah kembalimu.” (QS. Al ‘Alaq: 6-8)

Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala yang memilki rahmat yang sangat luas, sepenuh dan seluas ilmu-Nya. Allah mengabarkan tentang malaikat-Nya,

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا

“Ya Rabb kami rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu.”(QS. Al Mu’min: 7) [3]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Manusia yang paling sempurna penyembahannya adalah orang yang beribadah kepada Allah menggunakan semua nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang diperkenalkankan kepada manusia.” [Madaarijus Salikin (1/420)]

Seperti itulah sebagian ulama menafsirkan ucapan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus dikurangi satu. Barangsiapa menghitungnya (mengetahuinya), maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnul Qayyim berkata: “Mengerti dan mengetahui tentang Asmaa’ul Husna merupakan dasar dari segala ilmu; ilmu tentang ciptaan atau perintah-Nya, dan ilmu tentang apa-apa yang Dia jadikan atau yang Dia syariatkan. Dan adanya penciptaan dan perintah itu sendiri berasal dari Asmaa’ul Husna. Oleh karena itu, maka semua perintah Allah (mengandung) kemaslahatan, hikmah, rahmat, kasih-sayang dan kebaikan, karena sumbernya adalah nama-nama-Nya yang baik (Asmaa’ul Husnaa), begitu pula perbuatan-Nya. Tidak pernah perbuatan Allah keluar dari kerangka keadilan, hikmah, kemaslahatan dan kasih-sayang, karena sumbernya juga dari Asmaa’ul Husna. Jadi pada penciptaan-Nya tidak akan ada kesemerawutan dan tidak ada pula yang percuma. Dia tidak menciptakan makhluk-Nya dengan sia-sia dan dibiarkan-Nya begitu saja.” [Badaai Al Fawaid (1/163)]

Dan Syaikh rahimahullah telah menguraikan pembahasan ini pada tempat yang lain. [4]

[Diambil dari kitab Sittu Duror min Ushuul Ahlil Atsar, Penulis Asy Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi, Penerbit Maktabah Al Ilmiyah, Judul Asli: Landasan 1 – Ikhlash]

_________
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh Imam Malik (414) dan Abdur Razzaq (1/406) dan Ibnu Sa’ad (2/240-241) dishahihkan oleh Ibnu ‘Abdil Baar dalam At Tamhid (5/42) dan Al Albani dalam Tahdz As Saajid (hal.26)
[2] Loyalitas, kecintaan, dan kecenderungan.
[3] Lihat Al Qawaa’id Al Hisaan Li Tafsir AI Quran, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di (hal.18)
[4] Lihat Kitabnya: Miftah Daar As Sa’adah (2/510-513, Cetakan ‘Ali Al Halabi)

Published in: on 31 Agustus 2010 at 07:29  Tinggalkan sebuah Komentar  
Tags: , ,

The URI to TrackBack this entry is: https://adealam.wordpress.com/2010/08/31/islam-tidak-menyuruh-dakwah-kepada-kekuasaan-negeri-namun-menyuruh-dakwah-kepada-tauhid-3/trackback/

RSS feed for comments on this post.

Tinggalkan komentar